Posted by: munifchatib | September 24, 2012

Wow, di Tokyo saya berkunjung ke KAMPUSNYA MANUSIA


MAHASISWA HARUS BERSEPEDA DI UNIVERSITAS TOKYO

Go to Tokyo, April  2013

By Munif Chatib

Begitu menginjakkan kaki ke kampus Tokyo University, rasanya seperti masuk abad ke 16. Bangunan tua dan pohon-pohon besar yang rindang. Kami mengunjungi fakultas keguruan di Universitas ini. Maklumlah rombongan kami adalah mahasiswi keguruan dari STIT Diniyah Putri Padang Panjang. Dalam ruangan yang tidak begitu besar, kami diputarkan video tentang fakultas keguruan di Universitas Tokyo. Setelah tanya jawab, kami di ajak berkeliling. Ya, yang namanya kampus, dimana-mana sama. Sebuah kelas, berAC, ada kursi kuliah, ada LCD dan lain-lain, seperti kampus-kampus di Indonesia pada umumnya. Mungkin ada yang lebih mewah di Indonesia. Namun yang ingin saya bagi ceritanya bukan itu.

Ketika kami di ajak berkeliling di halaman kampus yang sangat luas, saya melihat ada yang beda dengan kampus di Indonesia. Sedikit sekali mobil yang di parkir atau melintas. Saya langsung bertanya,

“Dimanakah area parkir mobilnya? Kog saya jarang melihat mobil? Paling hanya satu dua.”

“Pak Munif, di kampus ini, mahasiswa dilarang bawa mobil. Mereka harus bersepeda. Yang boleh hanya para profesor. Itupun, banyak profesor yang juga pakai sepeda, “ jawab seorang dosen dari fakultas keguruan yang menemani saya.

Saya hanya menghela nafas panjang.

“Kami biasa menggunakan mobil itu kalau sudah jadi pilihan terakhir, kalau masih bisa pakai sepeda lebih bagus. Atau pakai kereta bawah tanah,” lanjutnya, membuat saya manggut-manggut berdecak kagum. Saya pandang sekeliling, begitu rapinya puluhan sepeda di parkir di halaman kampus. Sejuk sekali udaranya, padahal cuaca cukup panas hari itu. Wow, saya ada di KAMPUSNYA MANUSIA, dahsyat ….

Tokyo University, 10 September 2012

 

RIBUAN GURU NEGERI SURABAYA BERTEKAD MENJADI GURUNYA MANUSIA

By Munif Chatib

Bahagianya selesai menyelesaikan tugas bertemu dan berbagi dengan ribuan guru negeri sekota Surabaya. Jujur, saya sangat ‘respect’ terhadap kepala diknas kota Surabaya, Pak Ihsan, juga Pak Yusuf  dan Pan Andi yang tanpa lelah terus memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi informasi tentang GURUNYA MANUSIA.

“Pak Munif, ini baru level satu, akan ada kelanjutannya nanti,” kata Pak Ihsan. Saya selalu menjawab siap membantu. Bertemu guru bagi saya adalah seperti bertemu orang pertama yang tepat. Orang pertama yang langsung bertemu dengan anak-anak kita di kelas. Orang pertama yang akan menjadi inspirasi buat seluruh pelajar pada jenjang apapun. Oleh karena itu, saya benar-benar berusaha keras untuk tampil baik dan menyenangkan. Sungguh saya berusaha sekuat mungkin untuk itu.

Momen spesial yang saya dapat ketika melihat guru-guru dari SLB juga ikut serta pada workshop ini. Ada diantara mereka ytang juga mempunyai hambatan penglihatan dan pendengaran, namun mereka antusias untuk mengikuti workshop.

Dan yang dahsyat, saya berhasil mengundang para pengajar muda angkatan 1 dan 2 dari program Indonesia Mengajar untuk memberikan testemoni. Bagaimana anak-anak muda ini menjadi guru selama satu tahun di pelosok-pelosok negeri yang tidak ada listrik dan sinyal HP. Cerita mereka diharapkan mampu menambah semanagat guru-guru negeri di Surabaya dalam mengajar dan memandang siswa-siswanya adalah bintang.

Terima kasih Diknas Surabaya, para guru-guru yang hebat dan pengajar muda seantero Indonesia.

Surabaya, 19 September 2012

This slideshow requires JavaScript.

 

 

 

 

Posted by: munifchatib | September 19, 2012

Melihat Toilet Siswa SMP Swasta di Tokyo

MELIHAT TOILET SISWA DI SEKOLAH MUSASHINO  JYOSHI GAKUEN TOKYO

Go to Tokyo, April 2012

By Munif Chatib

Dalam beberapa kesempatan pelatihan guru, saya sering mengatakan jika ingin melihat baik tidaknya manajemen sebuah sekolah, sebenarnya mudah. Masuklah ke toilet siswanya. Jika bersih, maka identik dengan manajemen sekolah itu sampai level atas. Sebaliknya jika kotor dan berbau, maka biasanya manajemen sekolah tersebut juga amburadul. Saling tumpang tindih antara kewenangan dan tugas pada setiap struktur sekolahnya.

Pada saat berkesempatan studi banding di Sekolah Musashino  Jyoshi Gakuen, sebuah SMP Swasta di Tokyo, saya membuktikan konsep itu. Sekolah ini adalah sekolah yang berbasis agama Budha. Setelah kepala sekolahnya berkenalan dengan menyampaikan secara singkat profile sekolah tersebut, kami di ajak berkeliling. Langsung saya mencari toilet siswanya. Ada 4 lantai yang harus kami telusuri.  Setiap lantai ada toilet siswa. Dan ketika saya masuk mengamatinya. Wow! betapa bersihnya. Saya berhasil mengambil gambarnya. Dan benar juga dari pagi sampai siang, hampir setiap sudut sekolahnya telah kami jelajahi. Membuktikan manajemen sekolah yang baik, jumlah kami 35 orang yang mereka bagi menjadi 4 kelompok.  Semua pertanyaan terutama tentang manajemen dan kurikulum saya tanyakan. Sempat saya tanyakan tentang bersihnya toilet siswa.

Seorang guru yang mengantar saya, mengatakan:

“Di sekolah ini, karena berbasis agama, maka kebersihan toilet harus menjadi prioritas. Ruang kerja kami biasa-biasa saja, namun toilet kami harus luar biasa. Dan kami tidak banyak menggunakan office boy untuk membersikannya sebab semua siswa sudah dilatih menggunakan dan menjaga kebersihan toiletnya. Semua siswa harus bertanggung jawab terhadap kebersihan sekolah, terutama toilet.”  Saya hanya menghela nafas panjang mendengan tuturnya. Bagaimana dengan sekolah kita?

Tokyo, 9 September 2012

Posted by: munifchatib | September 18, 2012

Balada sekantong sampah, sungguh tak terlupakan.

BALADA SEKANTONG  SAMPAH DI TOKYO

Go to Yokyo April 2013

By Munif Chatib

Melihat pembelajaran di kelas TK Mushashino Joshi Gakuin sungguh menyenangkan. Rasanya makin kuat pemahaman bahwa tema yang dipelajari haruslah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak yang berwajah lucu membuang sampah pada tempatnya. Ada tiga tong sampah, satu untuk botol plastik, satu untuk sampah basah dan satu lagi untuk sampah kering. Ketika menjelajah kota Tokyo, aplikasi di sekolah tentang sampah terjadi di mana-mana. Dan menurut saya, sudah menjadi budaya.

Dimulai dengan teguran ‘Buanglah sampah pada tempatnya’, ternyata mempunyai serangkaian peraturan yang banyak. Anda bayangkan, tidak boleh membuang sampah di jalanan. Jika anda makan sesuatu, lalu anda kesulitan mencari tong sampah pada saat itu, maka bungkus makanan tersebut harus anda masukkan dalam kantong saku atau jas anda., sampai anda menemukan tong sampah. Ketika menemukan tong sampah, jangan sampai salah memasukkan jenis sampah ke dalam tempatnya.

Peraturan berikutnya, jika anda makan atau minum di cafe, tidak boleh di meja anda meninggalkan sampah. Ada pengalaman menarik. Di depan Waseda University ada cafe kecil. Saya memesan secangkir kopi. Lalu dihidangkan lengkap dengan sebungkus gula dan sebungkus creamer. Saya buka bungkus creamer yang kecil itu dan menikmati kopi jepang dengan nikmatnya. Setelah itu si Bella memanggil untuk segera kembali ke bis. Kopi habis dan saya langsung berdiri meninggalkan meja cafe tersebut. Baru beberapa meter, pemilik cafe mengejar saya. Dengan menggunakan bahasa Inggris, dia memanggil saya dan meminta saya kembali ke meja saya. Saya pikir, saya lupa belum bayar. Namun betapa kagetnya, saya diminta mengambil dan membuang bungkus kertas bekas creamer di meja saya. Wow, saya minta maaf dan mengambil bungkus creamer tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di situ. Hanya bungkus  kertas kecil berukuran 2 cm x 2 cm, namun saya diminta tetap membuangnya ke tempat sampah.

Pengalaman unik lainnya ten tang sampah cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Rombongan makan siang di taman kota yang indah di depan istana kaisar Jepang. Seperti biasanya, bagian konsumsi langsung membuka tiga bungkus plastik hitam untuk sampah. Dengan rapinya kami masukkan sebuah kotak plastik makanan dan botol minuman di bungkusnya masing-masing. Belum sempat kami mencari tong sampah untuk membuangkanya, kepala rombongan sudah meminta masuk dalam bis, sebab waktunya sudah habis. Akhirnya beberapa kantong sampah tersebut kita masukkan dalam bagasi bis. Setelah berkeliling, kami menuju tempat istirahat yang baru yaitu Yoyogi Olimpic Centre, sebuah area yang luas dengan banyak gedung. Dahulu tahun 1960 an olimpiade dunia di Tokyo menggunakan gedung ini.

Praktis sebelum check in, kami mengeluarkan beberapa kantong sampah dan ingin membuangnya ke tempat sampah. Namun ternyata kami dilarang membuang sampah dari luar di tempat yang baru. Ada peraturan, sampah yang boleh dibuang di tempat sampah adalah yang dari area itu sendiri, tidak boleh membuang sampah yang berasal dari area lain. Akhirnya, Prof. Miyake menginstruksikan untuk setiap orang harus membawa sekantong sampah masing-masing ke kamar hotelnya. Disimpan sampai besok pagi, lalu nanti setelah meninggalkan area ini, baru dibuang ke tempat sampah umum.

Wow, saya membayangkan sebentar lagi saya tidur dengan sekantong sampah di kamar hotel. Maklumlah, aturan hotel tersebut adalah 1 kamar harus 1 orang, dan harus tidur dengan sekantong sampah. Saya mengusulkan semua sampah di masukkan di kamar hotel saya. Semua peserta sangat senang sekali.

“Pak Munif, baik sekali, baik amat.” Semua teman memuji saya. Ketika kamar saya penuh dengan banyak kantong sampah, dengan keberanian tingkat tinggi, saya memutuskan untuk tidur di kamar sang isteri. Meskipun kecil, tidak apa-apa, pastilah tambah nyaman. Tak lama, pintu di ketuk, dan si Bella juga ingin tidur bersama. Jadi akhirnya, kami bertiga tidur dalam 1 kamar.

Besoknya, ketika banyak kantong sampah harus dikeluarkan dari kamar hotel, aroma bau tak sedap sudah merebak di mana-mana. Cepat-cepat kami memasukkan dalam bagasi bis untuk dibuang ke tempat sampah umum. Oh sampah, begitu berharganya kau di negeri ini, sampai-sampai harus bermalam juga di kamar hotel. Balada sekantong sampah, sungguh tak terlupakan.

Tokyo, September 2012

 

 

 

Posted by: munifchatib | September 15, 2012

Tokyo, Padat Penduduk Namun Bebas Macet

TOKYO TANPA MACET DENGAN 33.750.000 PENDUDUK
Go to Tokyo, April 2013
By Munif Chatib

Sabtu, Minggu dan Senin, 8-10 September 2012 Saya dan rombongan STIT Diniyah Putri Padang Panjang keliling kota Tokyo, yang menurut data berpendduduk 33.7

50.000 penduduk. Sangat padat mestinya. Namun rasanya ada yang tidak masuk akal, yaitu jalanan kota Tokyo tampak sepi, seperti Jakarta tahun 1970-an. Apalagi saya yang tinggal di Jakarta dapat membandingkan langsung. Data tahun 2010, penduduk Jakarta hanya 9.607.787. Bandingkan dengan Tokyo. Hari Sabtu dan Minggu libur, saya dan Pak Iswoyo menduga sepinya kota ini di sebabkan hari libur. Namun ternyata salah, hari Seninpun kondisinya sama sepinya. Lalu pada kemana orang-orang di sini?
Akhirnya saya tahu, Tokyo ternyata mempunyai dua lapis alam. ALAM BAWAH dan ALAM ATAS. Sepinya kota Tokyo disebabkan saya berada di ALAM ATAS, yaitu jalan raya, gedung-gedung bertingkat, taman-taman kota, gedung perkantoran dan lain-lain. Ketika saya masuk ke ALAM BAWAH, barulah saya melihat kepadatan kota Tokyo sebenarnya.
Stasiun kereta api bahwa tanah, adalah transportasi publik di Tokyo yang menjadikan kota tersebut bebas macet. Saya berkeliling menikmatinya dari stasiun satu ke stasiun yang lain dengan tiket kecil. Mulai dari stasiun Yurikamome, Odaiba, dan Shimbashi. Jalan dalam stasiun bahwa tanah tersebut di bagi dua dengan tanda anak panah. Artinya sebelah kiri dan sebelah kanan. Ribuan orang berbaris berjalan menurut anak panah, tanpa bertabrakan. Ketika kereta berhenti, naik pun ada aturannya, sebelah kiri tempat orang naik dan sebelah kanan tempat orang turun. Sederhana aturannya namun rapi dan dijalankan. Satu lagi, betapa nyamannya kereta bawah tanah tersebut. Hampir semua orang duduk rapi dengan membaca buku atau menggunakan semacam ipad untuk membaca e-book. Kereta di ALAM ATAS juga ada. Tanpa masinis, melintasi kota Tokyo yang indah. Hebat sekali.
Saya bertanya kepada Nakata Yuki,yang pernah kuliah di UPI Bandung tentang bagaimana masyarakat Tokyo sangat disiplin dan menjaga fasilitas publik, seperti transportasi umum. Nakata menjawab: “Semua diajarkan di SEKOLAH sejak TK, bagaimana cara masuk ke stasiun bahwa tanah, berjalan lewat jalur mana, cara masuk ke pintu kereta agar rapi dan tidak saling mendorong. Semuanya kami dapatkan itu sejak kecil di SEKOLAH.”
Saya membayangkan, jika calon gubernur Jakarta mendatang atau sudah terpilih menjadi gubernur Jakarta, belajar sistem transportasi di Tokyo, mungkin Jakarta tidak akan terkena penyakit kronis yaitu MACET SEUMUR HIDUP. Ayo bangun Jakarta menjadi dua alam dengan transportasi publik yang nyaman.

Tokyo, 7-11 September 2012

Posted by: munifchatib | September 14, 2012

Belajar Hidup Lebih Baik Bersama Keluarga Di Tokyo

DAHSYATNYA TOKYO, BELAJAR HIDUP LEBIH BAIK BERSAMA KELUARGA

Go to Tokyo, April 2013

By Munif Chatib

Buat saya kesempatan yang jarang sekali terjadi adalah bercengkerama dengan keluarga. Pernah dalam satu bulan, saya hanya 4 hari bertemu Umi, anak dan isteri. Allah SWT memang Maha Adil, ketika mendapat kesempatan berkunjung ke Tokyo selama 5 hari, saya berdoa dan berusaha untuk mengajak istri tercinta dan putri semata wayang, Salsabila. Dan Allah mengabulkan doa-doa saya. Kami bertiga berangkat ke Tokyo untuk belajar banyak hal-hal yang positif di sana.

Melihat bersihnya kota Tokyo dari sampah dan debu. Masyarakatnya yang ramah. Kalimat yang terus menerus diucapkan oleh sang isteri tercinta adalah :

“Kenapa tidak Indonesia bisa seperti ini. Pasti bisa, jika dimulai dari kita sendiri dan dari hal yang kecil-kecil. Insyallah bisa.” Wow, benar juga pernyataan itu. Selama dalam perjalanan, kami bertiga selalu mencatat, mengingat  dan diskusi seru tentang apa yang sebentar lagi akan dikerjakan sepulang ke tanah air.

Pengalaman unik terjadi di Waseda University, ketika Prof. Noriko Watanabe, seorang wanita yang memimpin divisi luar negeri bertanya kepada Salsabila dan Isteri saya tentang hijab. Beliau mengira semua baju itu hijabnya hanya satu, dan selalu dikenakan. Si Bella menjelaskan panjang lebar, bahwa setiap baju muslim itu biasanya berikut hijabnya yang sesuai. Jadi kami banyak punya hijab, tidak hanya satu. Lalu Isteri dan Bella menunjukkan cara memakai hijab kepada Prof. Noriko Watanabe yang cantik jelita itu.

Bahagia rasanya melihat anak dan isteri dapat kesempatan belajar dan berbagi di negeri orang. Maklumlah hal ini kesempatan yang sangat jarang. Kami bertiga berjanji, setelah pulang ke tanah air, untuk berubah hidup lebih baik. Tidak sering memerintah, namun apa yang bisa dikerjakan sendiri, maka kerjakan sendiri. Disiplin terhadap waktu, terutama waktu sholat dan janji bertemu dengan orang. Berjanji untuk meluangkan waktu membaca buku. Berjanji untuk ramah dengan orang lain. Selalu berbagi kepada siapa saja.

Alhamdulillah ya Allah … Engkau selalu menjawab doa-doa kami baik langsung maupun tidak langsung. Semoga keluarga yang kecil ini selalu dalam lindunganMu. Aku selalu menjadi suami dan ayah yang baik buat keluarga. Istriku menjadi isteri yang selalu menjaga, merawat dan mendukung suaminya dan anaknya. Putri yang selalu tak henti-hentinya berdoa untuk orangtuanya dan berdiri di depan untuk membelanya dari mara bahaya. Alhamdulillah ya Allah.

Tokyo, September 2012

Posted by: munifchatib | September 13, 2012

Ingin sekali berkunjung ke Tokyo lagi lebih lama

DAHSYATNYA TOKYO, HASIL DARI SEKOLAHNYA MANUSIA

By Munif Chatib

Melintasi Tokyo memang seperti melintasi negeri dongeng. Bayangkan setiap sudut kota bebas dari sampah. Udaranya sejuk, hampir tak ada debu. Masyarakatnya memiliki disiplin tingkat tinggi. Menyeberang jalan harus menunggu lampu hijau menyala. Pak Setiyo Iswoyo secara tidak sengaja menyeberang jalan kecil yang sepi, padahal lampu tanda menyeberang masih merah. Spontan Kaoru Muramatsu, pengantar kita berlari dan menarik mundur Pak Iswoyo. Padahal jalan itu sepi sekali. Kami semua harus berhenti dan menunggu lampu hijau menyala.

Lima hari memang rasanya kurang, meskipun tak ada waktu untuk istirahat, terus berkeliling Tokyo. Kami mengunjungi Tokyo University, universitas negeri di Tokyo – peringkat 30 terbaik di dunia. Waseda University, universitas swasta pertama di  Jepang. Sekolah Musashino  Jyoshi Gakuen TK, SMP, SMA swasta di Tokyo. Miraikan Science Center, pusat penemuan sains terbaru. Fuji Television, stasiun televisi swasta terbesar di Jepang. Panasonic Centre, pusat display produk terbaru panasonic yang belum dijual di pasaran. Mega Web, tempat display dan uji coba mobil produksi Toyota terbaru dan tercanggih. Royal Palace, istana kaisar Jepang. Tokyo Tower, tower berketinggian 333 meter, kita bisa melihat seluruh kota Tokyo dari ketinggian 150 meter. Kuil dan Pasar tradisonal Asasuka, dan masjid Tokyo Jepang. Stasiun kereta api bawah tanah yang luar biasa. Walhasil setiap tempat kunjungan tersebut memunculkan momen spesial buat saya. Setiap hari, masuk hotel sudah pukul 22.00. Lelah namun puas.

Satu lagi, tidak ada macet. Padahal penduduknya sangat padat. Mereka rapi berjalan dan pergi ke kantor hampir semua dengan menggunakan kereta baah tanah. Jadi jalanan tampak sepi, meskipun di hari kerja. Saya sempat membandingkan dengan Jakarta. Jauh sekali, tepatnya sangat amat teramat jauh sekali.

Ketika saya bertanya kepada Prof. Mina Hattori dari Nagoya University tentang faktor utama apa yang menyebabkan masyarakat Jepang demikian disiplin. Beliau menjawab semuanya bersumber dari SEKOLAH dan RUMAH. Sungguh saya melihat dsebuah hasil nyata dari pendidikan karakter di Yokyo Jepang. Sekali lagi hasilnya nyata. Masyarakatnya dari berbagai usia menerapkan pendidikan karakter yang di dapat di sekolah dan di rumah. Akhirnya terbawa di tempat kerja dan di jalanan.

Ingin sekali berkunjung ke Tokyo lagi lebih lama untuk belajar bagaimana kurikulum di sekolah yang sederhana namun berhasil melahirkan manusia-manusia yang berkarakter.

Tokyo, September 2012

Posted by: munifchatib | September 12, 2012

Puisi untuk Munir

MUNIR TAK PERNAH MATI
By Munif Chatib

Jasadmu mungkin sudah lapuk tak berbentuk
Lantang suaramu mungkin sudah tak pernah terdengar
Mereka katakan kau sudah mati

Namun sesungguhnya …
Kau tak pernah mati
Kau tetap hidup dengan pemikiranmu
Kau tetap berdiri dengan keberanianmu
Kau tetap kibarkan bendera kemanusiaanmu

Mereka katakan kau sudah mati
Namun sesungguhnya …
Kau tak pernah mati
Kau tetap hidup dengan kebenaran
Meski penguasa malas mencari kebenaran
Kau tetap hidup dengan penghargaan hak manusia
Meski penguasa tak peduli dengan hak manusia

Biarlah seperti ini …
Mungkin ini sudah digariskan
Setiap tahun akan banyak orang berdiri
Mengenang dan menuntut siapa dalang pembunuhmu
Mungkin sampai 100 tahun lagi …
Mungkin sampai 1000 tahun lagi …
Seperti menjadi … ‘tes sejarah bangsa’
Bagi penguasa zaman yang adil

Tetap hidup sahabat …

Tokyo, 7 September 2012

« Newer Posts - Older Posts »

Categories